Senin, 18 Juni 2012

Model Matematis Mensimulasi Kumis Tikus, Memberi Wawasan Tentang Indera Sentuhan

Para peneliti di Northwestern University telah mengembangkan model matematika yang memungkinkan mereka mensimulasikan bagaimana tikus menggunakan kumis untuk menginderakan objek di sekitar mereka. Model ini memungkinkan penelitian lebih lanjut untuk dapat memberi wawasan tentang indera rabaan manusia.
Ratusan makalah, yang menggunakan sistem kumis tikus sebagai model, diterbitkan setiap tahunnya untuk memahami perkembangan otak dan pengolahan saraf. Tikus memindahkan kumis mereka secara berirama dengan berbagai objek untuk mengeksplorasi lingkungan dengan sentuhan. Dengan hanya menggunakan informasi taktil dari kumisnya, tikus bisa menentukan semua sifat spasial suatu objek, termasuk ukuran, orientasi bentuk, dan tekstur.

Namun ada bagian besar yang hilang yang mencegah pemahaman penuh sinyal saraf: tidak ada yang tahu bagaimana kumis mewakili “sentuhan” dalam hal variabel mekanis.
“Kami tidak paham dengan sentuhan sama halnya dengan indera lainnya,” kata Mitra Hartmann, profesor teknik biomedis, dan teknik mesin di McCormick School of Engineering and Applied Science. “Kita tahu bahwa rangsangan visual dan auditori dapat diukur dengan intensitas dan frekuensi cahaya serta suara, namun kita tidak sepenuhnya memahami mekanika yang menghasilkan indera sentuhan kita.”
Untuk membuat sebuah model yang mulai mengukur mekanik ini, tim Hartmann pertama mempelajari struktur array kumis tikus – 30 helai kumis diatur dalam pola yang teratur di tiap sisi wajah tikus. Dengan menganalisis mereka dalam pindaian berdimensi-dua dan berdimensi-tiga, mereka mendefinisikan hubungan antara ukuran dan bentuk kumis masing-masing serta penempatannya pada muka tikus.
Dengan menggunakan informasi ini, tim peneliti menciptakan model yang mengkuantifikasi bentuk dan struktur penuh kepala tikus serta array kumis. Model ini kini memungkinkan tim peneliti mensimulasikan tikus “mengaduk” objek-objek yang berbeda, dan untuk memprediksi pola penuh input ke dalam sistem kumis saat tikus menemukan sebuah objek. Simulasi ini kemudian dapat dibandingkan dengan perilaku nyata.
Penelitian ini dipublikasikan secara online dalam jurnal PLoS Computational Biology.
Dengan memahami mekanisme sistem kumis tikus, ini dapat memberi langkah menuju pemahaman indera sentuhan pada manusia.
“Pertanyaan besar laboratorium kami adalah ketertarikan pada bagaimana hewan, termasuk manusia, secara aktif menggerakkan sensor mereka melalui lingkungan dan entah bagaimana mengubah data sensoris menjadi persepsi yang stabil di dunia,” kata Hartmann.
Untuk menentukan bagaimana tikus bisa merasakan bentuk objek, tim Hartmann sebelumnya mengembangkan sebuah lembar cahaya untuk memantau lokasi kumis yang tepat saat melakukan kontak dengan objek. Dengan menggunakan video berkecepatan tinggi, tim peneliti juga dapat menganalisa bagaimana tikus menggerakkan kepalanya untuk mengeksplorasi bentuk yang berbeda. Observasi perilaku ini kemudian dapat dipasangkan dengan output dari model.
Kemajuan ini tidak saja akan memberi wawasan tentang indera rabaan, namun juga bisa mengaktifkan teknologi baru yang memanfaatkan sistem kumis. Sebagai contoh, laboratorium Hartmann menciptakan array pada kumis robot yang dapat, dalam beberapa hal, meniru kemampuan kumis mamalia. Para peneliti menunjukkan bahwa array tersebut bisa merasakan informasi tentang bentuk objek maupun aliran fluida.
“Kami menunjukkan bahwa momen lentur, atau torsi, pada basis kumis dapat digunakan untuk menghasilkan representasi spasial lingkungan tiga dimensi,” kata Hartmann. “Kami menggunakan prinsip ini untuk membuat array pada kumis robot yang dapat meniru banyak mekanisme dasar kumis tikus.” Teknologi ini, katanya, dapat digunakan untuk mengekstrak fitur tiga dimensi dari hampir semua benda padat.
Hartmann membayangkan bahwa suatu pemahaman yang lebih baik terhadap sistem kumis ini mungkin berguna bagi aplikasi rekayasa dalam penggunaan kamera terbatas. Namun yang paling penting, pemahaman yang lebih baik terhadap sistem kumis tikus bisa diterjemahkan ke dalam pemahaman yang lebih baik terhadap diri kita sendiri.
“Meskipun kumis dan tangan sangat berbeda, namun jalur saraf dasar yang memproses informasi sentuhan memiliki banyak hal yang serupa pada mamalia,” kata Hartmann. “Pemahaman yang lebih baik pada proses syaraf dalam sistem kumis ini dapat memberikan wawasan mengenai bagaimana otak kita sendiri memproses informasi.”
Selain Hartmann, penulis lain dalam makalah adalah Blythe Towal, Brian Quist dan Joseph Salomo, semua dari Northwestern, serta Venkatesh Gopal dari Elmhurst College.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( :-p =))